Salam dan Berjabat Tangan Selesai Shalat
SALAM DAN BERJABAT TANGAN SELESAI SHALAT
Oleh
Syaikh Mansyur Hasan Salman
Mengucapkan salam dan berjabat tangan, merupakan dua hal yang dianjurkan dan ditekankan oleh syari’at. Tetapi dalam kondisi tertentu, keduanya berubah menjadi terlarang dan dibenci, manakala diterapkan tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Makalah berikut akan menjelaskan permasalahan tersebut, yang banyak dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin. Adalah hal yang sudah dipahami, bahwa petunjuk terbaik berasal dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam sebuah hadits, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا لَقِيَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُسَلِّمْ عَلَيْهِ فَإِنْ حَالَتْ بَيْنَهُمَا شَجَرَةٌ أَوْ جِدَارٌ أَوْ حَجَرٌ ثُمَّ لَقِيَهُ فَلْيُسَلِّمْ عَلَيْهِ أَيْضًا
Apabila salah seorang diantara kalian bertemu dengan saudaranya, maka hendaklah ia mengucapkan salam ; dan apabila terhalang oleh pohon, tembok atau batu kemudian keduanya bertemu lagi, maka hendaklah ia mengucapkan salam pula.[1]
Dalam hadits tersebut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm memerintahkan kepada kaum muslimin agar mengucapkan salam kepada saudaranya ketika bertemu, karena dapat mempererat persatuan, menghilangkan kebencian dan menumbuhkan rasa cinta. Namun perintah dalam hadits tersebut untuk menunjukkan sunnah, dalam arti sebagai anjuran dan penekanan. Bukan wajib.
Ucapan salam ini diucapkan, tanpa membedakan orang yang disalami, baik ia di dalam atau di luar masjid. Bahkan Sunnah yang shahih telah menunjukkan disyari’atkannya mengucapkan salam kepada orang yang di dalam masjid, baik orang itu sedang shalat ataupun tidak.
Ibnu Umar menceritakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju masjid Quba untuk shalat, lalu para sahabat Anshar datang dan mengucapkan salam kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salalm sedang melakukan shalat.
Ibnu Umar berkata: “Aku bertanya kepada Bilal. Bagaimana engkau melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab salam, ketika mereka mengucapkan salam kepadanya, padahal Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat?” Bilal menjawab,”Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawabnya demikian, sembari membentangkan telapak tangannya, -Ja’far bin Aun pun membentangkan tapak tangannya, menjadikan perut tapak tangannya di bawah dan punggung tapak tangannya di atas-.”[2]
Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih berpendapat seperti hadits ini. Al Marwazi mengatakan,”Aku bertanya kepada Ahmad bin Hambal. Apakah ia memberikan salam kepada sekelompok orang, padahal mereka sedang shalat?” Ia berkata,”Ya,” Lalu beliau rahimahullah menyampaikan kisah Bilal ketika ditanya Ibnu Umar tentang cara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab salam?” Ia berkata,”Dengan menggunakan isyarat.”
Ishaq berkata: ”(Pendapatku) sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad”[3]
Pendapat inilah yang dipilih Al Qadhi Ibnu Al Arabi. Beliau mengatakan, adakalanya isyarat dalam shalat berfungsi untuk menjawab salam, karena adanya perintah yang turun (wahyu) berkaitan dengan shalat, namun adakalanya pula isyarat itu dilakukan karena adanya kebutuhan lain yang dihadapi oleh orang yang tengah shalat. Jika isyarat itu untuk menjawab salam, maka dalam masalah ini terpadat atsar (riwayat) shahih, misalnya seperti perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid Quba dan lainnya.[4]
Sementara dalil disyari’atkannya memberikan salam setelah shalat di dalam masjid, diantaranya sebuah hadits yang masyhur, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّلَامَ قَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَرَجَعَ الرَّجُلُ فَصَلَّى كَمَا كَانَ صَلَّى ثُمَّ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Rasulullah masuk masjid, kemudian ada seorang laki-laki masuk masjid lalu ia shalat. Kemudian lelaki itu mendatangi Rasulullah dan mengucapkan salam kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salalm, lalu Rasulullah menjawab salam orang itu. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Kembali dan shalatlah (ulangi, red)! Sesungguhnya engkau belum shalat.” Lelaki itupun kembali melakukan shalat sebagaimana shalatnya tadi, kemudian datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dia melakukan hal itu sampai tiga kali).[5]
Syaikh Al Albani menyatakan,”Hadits ini dijadikan dalil oleh Shidiq Hasan Khan dalam kitab Nazlu Al Abrar, bahwa apabila ada seseorang mengucapkan salam kepada orang lain (dalam jarak yang jauh-red), kemudian menemuinya dalam jarak yang lebih dekat, maka disunnahkan baginya untuk mengucapkan salam lagi, baik yang kedua ataupun yang ketiga kalinya.”
Al Albani juga mengatakan,”Dalam hadits ini terdapat dalil disyari’atkannya mengucapkan salam kepada orang yang berada di dalam masjid. Masalah ini telah ditunjukkan oleh hadits, berkaitan dengan sahabat dari kalangan Anshar yang mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid Quba, sebagaimana penjelasan di atas. Meskipun demikian, pada saat yang sama, kita dapati sebagian orang yang fanatik, tidak mau mengindahkan Sunnah ini. (Misalnya) ada seseorang di antara mereka yang masuk masjid namun tidak mengucapkan salam kepada orang yang berada di masjid, karena ia mengira, mengucapkan salam kepada orang yang berada di masjid makruh (dibenci) hukumnya. Semoga yang kami tulis ini menjadi pengingat bagi mereka dan pengingat lainnya. Sebab peringatan itu bermanfaat bagi orang yang beriman.”[6]
Kesimpulan
Sesungguhnya salam dan berjabat tangan dilakukan ketika datang dan berpisah walaupun sebentar, baik di dalam maupun di luar Masjid. Akan tetapi, ada sesuatu yang disayangkan, yaitu ketika anda mengucapkan salam kepada seseorang saat berjumpa dengannya seusai shalat, dengan mengucapkan
السلام عليكم ورحمة الله
Ia malah spontan menjawab تَقَبَّلَ اللهُ (semoga Allah memperkenankan). Anehnya, orang ini beranggapan telah menunaikan kewajiban menjawab salam. Seakan dia tidak mendengar firman Allah Azza wa Jalla :
وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَآ أَوْ رُدُّوهَآ
Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).[An Nisa’/4:86].
Sementara ada sebagian lagi yang serta merta melontarkan ucapan تَقَبَّلَ اللهُ sebagai ganti dari salam, padahal Allah berfirman:
تَحِيَّتُهُمْ يَوْمَ يَلْقَوْنَهُ سَلاَمٌ
Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mu’min itu) pada hari mereka menemuiNya ialah “Salam (assalamu’alaikum)”. [Al Ahzab/33:44].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
Sebarkanlah salam diantara kalian.[7]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersabda “Katakanlah: taqabbalallahu”.
Dan kami juga tidak mengetahui ada riwayat dari seorangpun sahabat Nabi atau Salafush Shalih, bahwa ketika selesai shalat mereka berpaling ke kiri dan ke kanan untuk berjabat tangan dengan orang-orang di sekitarnya dan mendo’akan agar shalatnya diterima. Seandainya ada seorang diantara mereka yang melakukannya, tentu akan ada riwayat yang kepada kita, meskipun dengan sanad yang lemah. Dan niscaya Ahlul Ilmi akan menyampaikannya kepada kita[8].
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin mengatakan,”Banyak orang-orang shalat menjulurkan tangan-tanganya untuk berjabat tangan dengan orang-orang di sekitarnya. Ini dilakukan langsung setelah salam (selesai) dari shalat wajib sambil berdo’a dengan do’a taqabbalallahu. Perbuatan ini adalah bid’ah. Tidak diriwayatkan dari Salaf.”[9]
Bagaimana tidak bid’ah, sedangkan para muhaqqiq (para peneliti) telah mengatakan, bahwa berjabat tangan seperti itu, dan dengan cara yang telah disebutkan adalah perbuatan bid’ah.
Al Izz bin Abdussalam mengatakan,”Berjabat tangan setelah shalat Subuh dan Ashar adalah bid’ah. Terkecuali bagi orang yang baru datang lalu berkumpul dengan orang-orang yang kemudian menjabat tangannya sebelum shalat. Maka berjabat tangan seperti itu disyari’atkan ketika baru datang. Sedangkan langsung setelah selesai shalat, Nabi n biasa melakukan dzikir-dzikir yang disyari’atkan dan membaca istighfar tiga kali, kemudian pergi. Diriwayatkan, bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a:
اللَّهُمَّ قِنِي عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ عِبَادَكَ
Ya, Allah. Peliharalah aku dari adzabmu pada hari Engkau membangkitkan hamba-hambaMu.[10]
Sesungguhnya semua kebaikan hanyalah terletak pada ittiba’ (mengikuti) sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[11]
Pada zaman Al Izz Bin Abdussalam, bid’ah ini terjadi hanya ketika selesai dari dua shalat (yaitu Subuh dan Ashar, red), sedangkan pada zaman kita sekarang ini, bid’ah tersebut dilakukan sesudah semua shalat. La haula wala quwwata illa billah.
Al Laknuwi mengatakan, ada dua hal yang tersebar pada zaman kita ini di sebagian besar negara, khususnya di negeri Dakan yang merupakan tempat munculnya berbagai bid’ah dan fitnah. Dua hal yang harus ditinggalkan :
- Mereka justeru tidak mengucapkan salam ketika memasuki masjid, pada waktu shalat Subuh, bahkan langsung masuk, melaksanakan shalat sunnah, kemudian shalat fardlu. Tetapi mereka malah mengucapkan salam satu sama lain dengan segala rangkaiannya, tepat ketika shalat usai. Ini adalah perbuatan jelek. Sesungguhnya, mengucapkan salam hanya disunnahkan ketika bertemu, sebagaimana telah sah dijelaskan dalam banyak hadits, bukan ketika sudah berada di tengah-tengah majelis.
- Mereka berjabat tangan tepat setelah selesai shalat Subuh dan Ashar, serta dua shalat Id dan Jum’at. Padahal disyari’atkannya berjabat tangan juga ketika di awal pertemuan.[12]
Setelah membawakan perselisihan pendapat dalam masalah berjabat tangan usai shalat, Al Laknuwi mengatakan, diantara ulama yang melarang berjabat tangan sehabis shalat adalah Ibnu Hajar Al Haitsami As Syafi’i, dan Qatbuddin bin ‘Ala’uddin Al Makki Al Hanafi. Sedangkan Al Fadhil Ar Rumi, dalam Kitab Majalis al-Abrar, menggolongkannya ke dalam bid’ah yang keji. Beliau menyatakan, berjabat tangan itu baik, jika dilakukan di saat bertemu. Adapun diselain itu, seperti berjabat tangan seusai shalat Jum’ah dan Id, (dijadikan) sebagai adat pada zaman kita ini, maka seperti ini tidak diterangkan oleh hadits, sehingga tetap tidak memiliki dalil. Dan telah ditetapkan, bahwa sesuatu yang tidak ada dalilnya, maka tertolak dan tidak boleh diikuti.[13]
Beliau juga berkata,”Para pakar fiqih dari kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Malikiyyah telah menjelaskan secara tegas akan dibencinya hal tersebut dan merupakan bid’ah.” Beliau berkata di dalam Multaqath,”Berjabat tangan setelah shalat dibenci dalam segala kondisi. Karena para shahabat tidak berjabat tangan setelah shalat. Juga karena hal itu merupakan kebiasaan orang-orang Syi’ah (Rafidhah).” Ibnu Hajar, termasuk ulama Syafi’iyyah, mengatakan,”Perbuatan yang dilakukan manusia, yaitu berjabat tangan setelah shalat lima waktu, hukumnya makruh (dibenci), tidak ada dalilnya dalam syari’at.”
Kemudian Al Laknuwi rahimahullah menerangkan ijtihad dan pendapat yang dipilih, Beliau mengatakan,”Dan aku mengatakan, sesungguhnya mereka (para ulama) telah sepakat, bahwa berjabat tangan (model) ini tidak ada dasarnya dalam syari’at. Kemudian mereka berselisih pendapat dalam hal kemakruhan dan kemubahannya. Padahal, apabila suatu masalah berkisar antara makruh dan mubah, maka selayaknya difatwakan untuk dilarangnya, karena “mencegah kejelekkan”, lebih diutamakan daripada “mendatangkan manfaat”. Bagaimana tidak lebih utama dibandingkan melakukan perkara mubah, sementara orang-orang yang berjabat tangan pada masa kita mengira perbuatan ini sebagai sesuatu yang baik. Dan mereka mencela orang yang melarangnya dengan celaan yang sangat keji. Mereka terus-menerus melakukannya dengan berlebihan. Dan sebagaimana pembahasan yang telah berlalu, bahwa terus-menerus melakukan perkara yang dianjurkan bisa mengantarkan ke batas makruh. Lalu, bagaimana dengan orang yang selalu mengerjakan kebid’ahan yang tidak ada dasarnya dari syari’at ini? Berdasarkan ini semua, maka tidak diragukan, bahwa itu (berjabat tangan setelah shalat) adalah makruh. Inilah tujuan orang yang memfatwakan kemakruhannya (yaitu makruh tahrim). Sementara kata makruh (dibenci), hanyalah ungkapan-ungkapan orang-orang terdahulu dan pemberi fatwa yang dinukil oleh orang. Kata makruh ini disamai oleh riwayat-riwayat seperti perbuatan pengarang kitab Jam’ul Al Barakat, As Siraaj Al Munir dan Mathalib Al Mukmiin, berupa tasahul (terlalu gampang) dalam menshahihkan hadits, ini merupakan perkara yang dapat disaksikan, dan perbuatan mereka mengumpulkan hadits tanpa peduli shahih atau dhaif, merupakan satu perkara yang sudah diketahui bersama. Dan aneh, pengarang kitab Khazanah Ar Riwayah, dimana ia mengatakan dalam kitab ‘Aqdil Laaliy, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
صَافِحُوْا بَعْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ يَكْتُبُ اللهُ لَكُمْ بِهَا عَشْرًا
Saling berjabat tanganlah selepas shalat Fajr, niscaya Allah akan menetapkan (pahala) sepuluh kali lipat bagi kalian.
Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
صَافِحُوْا بَعْدَ الْعَصْرِ تُؤْجَرُوْا بِالرَّحْمَةِ وَالْغُفْرَانِ
Berjabat tanganlah selepas shalat Ashar, kalian akan diganjar dengan rahmat serta ampunan.
Dia tidak tahu, bahwa dua hadits ini dan yang semisalnya merupakan hadits palsu yang dibuat oleh orang-orang yang melakukan jabat tangan. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.[14]
Terakhir, perlu diperhatikan bahwa seorang muslim tidak boleh menghentikan (bacaan) tasbih saudaranya, kecuali dengan sebab syar’i. Dan pemandangan yang kita saksikan, banyak kaum muslimin terganggu, saat berdzikir dengan dzikir-dzikir yang disunahkan sehabis shalat Fardhu, karena tiba-tiba mereka dikagetkan dengan tangan yang dijulurkan untuk berjabat tangan dari kanan dan kiri. Ini mengakibatkan mereka terganggu, bukan karena jabat tangannya, tetapi karena tasbih mereka terputus dan terhalang dari berdzikir kepada Allah, yang disebabkan oleh jabat tangan tersebut tanpa sebab, semisal baru bertemu dan sejenisnya.
Apabila masalahnya seperti ini, maka bukanlah satu hikmah, engkau menarik tanganmu dari tangan orang disampingmu dan menolak tangan yang diulurkan kepadamu, hal ini adalah bathil yang tidak dikenal Islam. Akan tetapi, pegang tangannya dengan halus dan penuh kelembutan dan jelaskanlah padanya tentang bid’ahnya jabat tangan ini, yang dibuat-buat oleh manusia. Betapa banyak orang yang sadar karena peringatan dan dia memang orang yang pantas menerima nasihati. Karena kebodohan telah menyeretnya kedalam pelanggaran sunnah.
Maka kewajiban bagi orang yang berilmu dan para penuntut ilmu untuk menjelaskan dengan baik. Dan bisa jadi, seorang penuntut ilmu ingin mengingkari (mencegah) kemungkaran tapi tidak bisa memilih cara yang baik dan selamat, akibatnya ia terperosok kedalam kemungkaran yang lebih besar dari kemungkaran yang ingin dicegah sebelumnya.
Maka berlemah lembutlah! wahai para da’i Islam, raihlah kecintaan manusia dengan akhlakmu yang terpuji, niscaya kamu akan mampu menguasa hati-hati mereka dan kamu akan mendapati telinga-telinga yang mau mendengarkan dan hati-hati yang mau memperhatikan. Sesungguhnya tabi’at manusia adalah lari dari kekasaran serta kekerasan.[15]
(Diangkat dari kitab Al Qaulul Al Mubin Fi Akhtha’ Al Mushallin, karya Syaikh Mansyur Hasan Salman, hlm. 290-296. Disarikan oleh Abu Azzam dengan beberapa perubahan).
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, no. 5.200 dan sanadnya shahih, sedangkan semua perawinya terpercaya. Lihat Silsilah Ahadits Ash Shahihah, no. 186.
[2] Dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, no. 927 dan Ahmad dalam Al Musnad (2/30) dengan sanad shahih berdasarkan syarat Imam Bukhari dan Muslim. Lihat Silsilah Ahadits Ash Shahihah, no. 185.
[3] Masail Al Marwazi, hlm. 22.
[4] ‘Aridhah Al Ahwadz (2/162).
[5] Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. (Tambahan Redaksi : Orang itu itu disuruh mengulangi shalatnya, dikarenakan cara shalatnya tidak benar. Kemudian di bagian akhir dari hadits ini, dia meminta kepada Rasulullah agar mengajarinya cara shalat yang benar, dan Rasulullah pun memenuhi permintaannya. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarinya cara shalat yang benar).
[6] Silsilah Ahadits Ash Shahihah (1/314).
[7] Dikeluarkan Imam Muslim dalam Shahih-nya, no. 54 dan Ahmad dalam Al Musnad (2/391, 443,447, 495) dan lainnya.
[8] Kelengkapan ucapan ini, lihat kitab Bid’iyatul Mushafahah Ba’da Salam, hlm. 24-25.
[9] Majalah Al Mujtama’, Edisi 855.
[10] Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, no 62; Imam Tirmidzi dalam Al Jami’, no. 3.398 dan 3.399; dan Imam Ahmad dalam Al Musnad (4/290).
[11] Fatawa Izzu Bin Abdussalam, hlm. 46-47 dan lihat Majmu’ (3/488).
[12] As Si’ayah Fi Al Kasyfi ‘Amma Fi Syarhi Al Wiqayah, hlm. 264. Dan dari ucapan beliau ini bisa difahami, bahwa tidak mengapa berjabat tangan yang dilakukan antara dua orang atau lebih yang belum bertemu sebelum shalat. Al Albani mengatakan,”Dan adapun berjabat tangan setelah shalat, maka tidak diragukan lagi bid’ahnya, terkecuali jika jabat tangan antara dua orang yang belum bertemu sebelum shalat, maka hal itu adalah sunnah.” Lihat Silsilah Ahadits Ash Shahihah (1/23).
[13] As Si’ayah Fi Al Kasyfi ‘Amma Fi syarhi Al Wiqayah, dan lihat Ad Dinul Khalish (4/314), Al Madkhal (2/84) dan Sunan wal Mubtada’at, hlm. 72, 78.
[14] As Si’ayah Fi Al Kasyfi ‘Amma Fi Syarhi Al Wiqayah. Hal. 265
[15] Lihat selengkapnya di dalam kitab Bid’iyyatu Al Mushafahah Ba’da As Salam, hlm. 23..
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/46086-salam-dan-berjabat-tangan-selesai-shalat-2.html